Senin, 05 September 2016

Nagabonar, Rambo Dan Lelaki Pengibar Bendera

Nagabonar tua terdiam. Saat tukang bajaj yang juga guru ngaji dan rajin sholat itu bilang kalo bapaknya juga jenderal, sudah almarhum. Semasa hidupnya sang bapak sedikitpun gak pernah mau cerita tentang sepak terjangnya saat menjadi pejuang kemerdekaan. Katanya, biarlah itu menjadi amal kebajikannya, cukuplah Allah yang menilainya.

Kemarin, lelaki tua mantan pejuang kemerdekaan terduduk pasrah diantara puing-puing sisa penggusuran Rawajati, beliau kecewa karena merasa tak dihargai sebagai pejuang dan sebagai salah satu pengibar bendera pusaka dalam peristiwa di jalan pegangsaan yang menyejarah. Bahkan belakangan beliau dibully sebagian kalangan atas pengakuannya itu, karena sejarah terlanjur mencatat dua nama lain dalam peristiwa itu, bukan namanya.

Sejarah, memang serupa adonan terigu ditangan penjual gorengan, ia bisa gurih saat menjadi kulit tempe, dan bisa manis saat menjadi kulit ubi.

Pejuang, baik yang berjuang meraih kemerdekaan seperti laki-laki tua itu, maupun yang mengisi kemerdekaan macam atlet-atlet yang pernah membuat merah putih berkibar di laga-laga dunia, sama nelangsanya, mereka ada namun kerap terlupa.

Setidaknya laki-laki tua itu masih beruntung bakal menempati rusunawa. Nun disana di negara adi kuasa, ada mantan pejuang yang lari-larian di hutan dikejar-kejar polisi, karena dianggap meresahkan penduduk setempat. Jangankan rusunawa, bahkan bajupun tak ada, hanya bertelanjang dada dan memakai ikat kepala macam pendekar dua satu dua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar