Kamis, 22 September 2016

Negeri 1000 Episode Sinetron

Feodalisme, ternyata belum hendak hilang sampai hari ini. Kita boleh saja berkata zaman telah berganti, orde telah beralih, paradigma katanya telah berevolusi, teknologi tumbuh cepat menjelma gigantis memangsa siapapun yang ogah bermetamorfosis. Tapi tidak untuk pelakon negeri, mereka masih sentimentil, masih terkungkung pada tembang-tembang melow masa lalu, masih menyimpan luka itu, masih tergoda menahbiskan diri sebagai yang terpantas.

Hari ini kita kembali disuguhkan itu, saat seseorang merasa pantas merancang masa depan bermodal kebesaran masa lalu, setelah rivalnya pun begitu.

Di sini di negeri seribu episode sinetron ini, pinter aja gak cukup, prestasi saja gak cukup, kaya saja gak cukup, ganteng saja gak cukup. Ada elemen lain yang gak kalah penting, media dan genetika.

Kalian yang mo coba jadi sesuatu, dan buka siapa-siapa ambillah satu elemen itu, media. Jadilah media darling dengan segenap kemunafikannya. Seseorang di atas sana terbukti sukses meraihnya, meski akhirnya ia kudu rela tak merdeka, dilingkari oligarki luar binasah, tak ubah panglima kehilangan bendera, maju salah mundur salah.

Yang beruntung sudah menjadi sesuatu karena terlahir dari rahim yang menyejarah, gak kalah resikonya. Kecerdasannya, prestasinya nyaris terdengar lirih saja, dihantam kebesaran nama dibelakangnya. Apalagi yang memang nir prestasi dan gak cerdas-cerdas amat, ia hanya serupa bendera tak bertuan, diperlukan tapi miskin peran.

Naah kalo kalian yang ogah lelah, tapi kepengen merdeka, dan bukan terlahir dari rahim yang menyejarah. Ya udah jadi penonton saja, tinggal tepuk tangan sambil latihan memaki dan menyumpah-nyumpah, kaya saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar